.

.

Senin, 28 Maret 2011

[Cerpen] Mimpi

Mimpi

“Delta! Kita harus selalu bersama sampai ajal menjemput kita!!” Teriakan Apha terbawa angin. Walaupun begitu aku masih bisa mendengarnya.

Deru motor Alpha meraung-raung di jalan raya. Ia terlalu bersemangat. Aku memang takut. Tapi aku sadar, ada Alpha di dekatku. Ia akan melindungiku.

Kami tertawa sekeras-kerasnya walaupun tak bisa mengalahkan deru motor Alpha. Kami lupakan semua beban dan masalah. Kami bersenang-senang. Ya, kami sangat menyayangi satu sama lain. Dan kebut-kebutan adalah salah satu hobby kami. Tapi kali ini Alpha lengah. Dari kejauhan terlihat sebuah truk besar muncul dari tikungan. Alpha yang gugup tak sempat menghentikan motornya. Tawa kami mendadak berubah menjadi jeritan keras.

BRAKKKK!!

Hantaman keras antara motor dan truk besar itu membuatku terlempar jauh. Mataku berkunang-kunang. Aku memegang kepalaku. Ah, kepalaku mengeluarkan darah! Aku merasakan sakit yang teramat hebat. Seketika semuanya gelap.


* * *


Aku terbangun dari mimpiku dengan napas terengah.

“Semua ini cuma mimpi, Delta!” Aku berusaha tenangkan diri.

Mimpiku benar-benar hebat! Seperti sungguhan, nyata sekali! Karena itulah aku takut melanjutkan tidurku.

Sekarang sudah hampir pagi. Bau kali ini jam bekerku kalah langkah. Biasanya aku bangun setelah alarm berbunyi. Tapi hari ini terasa berbeda, begitu cepat waktu berlalu, tapi terkadang lama sekali rasanya.


* * *


Saat ini aku sudah berada di sekolahku, tepatnya di koridor depan kelasku. Di sinilah aku dan Alpha pertama kali kenal. Huh, sepertinya aku datang terlalu pagi. Teman-temanku yang piket hari ini pun belum kelihatan batang hidungnya satu pun.

Aku hanyut dalam lamunan. Aku ingat mimpiku semalam. Aku ingat betapa tragisnya mimpi itu. Aku ingat pada Alpha.

Seseorang menggenggam jemariku erat. Hangat jemarinya membuat udara pagi yang dingin seolah-olah sirna. Ku rasa aku mengenalnya.

Alpha!

Aku yakin itu Alpha!

Saatku menoleh, tatapan kami menyatu. Dia memang Alpha. Dia menatap dalam-dalam masih dengan genggamannya tadi. Kini matanya dilapisi lapisan sebening kaca yang membuatku terpana. Alpha menangis! Masih setengah tak percaya, sekonyong-konyong Alpha menenggelamkan aku ke dalam pelukannya. Kini aku bisa mendengar detak jantungnya.

Alpha membisikkan sesuatu padaku dengan suara lirih, “Delta, kita harus selalu bersama, sampai ajal menjemput kita.” Ia begitu dekat. Hembusan napasnya menyapu tengkukku.

Aku baru sadar jika ucapan Alphatadi persisi dengan teriakannya dalam mimpiku. Hanya intonasinya saja yang berbeda. Apa arti semua ini?

Aku beku dan mematung di tempat, terpaku dan terpana atas hari ini. Lidahku enggan bergerak.

“Delta, maafkan aku!” pekik Alpha sambil mengguncang bahuku. Raut wajahnya menyesal.

“Maaf untuk apa?” tanyaku tak mengerti.

“Sudahlah, semuanya telah terjadi…” Nada bicaranya makin melemah.

Ruang dalam dadaku terasa hampa. Aku dan Alpha berjalan masuk ke kelas. Ia kembali menggenggam jemariku.

“Excuse me? Ada orang?” Teriakan Reinhard memecah ketegangan antara aku dan Alpha. Alpha melepas genggamannya.

“Aduh, dasar males! Jam segini belum ada yang datang satu pun?” Reinhard bergumam, tapi aku bisa mendengarnya. ‘Belum datang satu pun’? Mungkin dia mencoba melawak. Yeah, not bad.

“Reinhard!” teriakku. Reinhard menole, mencari sumber suara. Keningnya terlipat.

“Sepertinya ada yang memanggilku.” Reinhard berkata pada dirinya sendiri. Ia menghela napas panjang. Kali ini joke-nya ku anggap tak lucu.

Tak lama segerombol siswa kelasku berdatangan. Kelas riuh seketika. Tapi aku suka pemandangan ini, hidup yang sebenarnya.

Tiba-tiba Hanna menangis. “Kenapa sih kita harus kehilangan dua teman sekaligus?”

“Siapa sih?” tanyaku. Lagi-lagi Alpha menggenggam tanganku. Suasana hening sejenak. Tak ada yang menjawab pertanyaanku.

“Iya. Padahal mereka ‘kan sepasang kekasih yang saling setia, cocok satu sama lain, sempurna.” Dannis angkat bicara. Tak ku sangka ia meneteskan air mata.

“Setia, sampai mati pun tetap bersama, dalam tragedi mengenaskan itu…” Clara berkata dengan mata berkaca-kaca. Aku penasaran sebenarnya mereka membicarakan siapa.

“Sudahlah, teman-teman. Tuhan menakdirkan mereka selalu bersama, seperti keinginan mereka. Alpha, Delta, semoga kalian bahagia di alam sana. Amin.” Reinhard akhirnya buka suara. Tapi apa maksudnya? Aku dan Alpha bahagia di mana? Aku tak mengerti.

“Alpha dan Delta pergi ke pelukan maut kenapa harus dengan cara seperti ini??” Hanna menangis makin keras. Dia memang bagaikan saudara bagiku. Dia temanku sejak playgroup.

Hanna terisak-isak memeluk Dannis. Dannis pun akhirnya menangis, begitu pula teman-teman yang lain. Aku tidak percaya, tapi aku mengerti sekarang! Pantas saja Reinhard tak melihatku. Pamtas saja tak ada yang menjawab pertanyaanku. Pantas saja semua menangis. Pantas saja waktu begitu cepat berlalu tapi kadang terasa lama sekali. Aku sadar sekarang! Aku paham! Aku tahu! Aku mengerti! Aku tidak percaya!!!

AKU HANTUUUUUU!!!!!

Aku tidak hidup lagi!!

Aku benar-benar hantu!

Ternyata mimpiku semalam bukan mimpi, tapi kenyataan! Aku tewas dalam kejadian itu aku mati bersama Alpha! Menjemput ajal bersama kekasihku sendiri!

Pantas saja Alpha meminta maaf padaku! Itu karena aku mati di pelukannya! Nyawaku satu-satunya melayang begitu mudahnya!

Tapi semuanya sudah terjadi, tak bisa kembali. Aku harus menerima kenyataan ini. Aku sudah mati, hanya rohku yang berkeliaran.

Alpha! Jangan tinggalkan aku!!

Alpha kembali menenggelamkan aku dalam pelukannya. Aku sadar, detak jantungnya tak lagi ku dengar. Tubuhnya dingin, sama sepertiku.

Aku kesepian, tanpa teman. Hanya ada Alpha di sampingku, tak ada yang lain. Perlahan ku rasakan ada tembok kasat mata yang memisahkan duniaku dan dunia nyata. Aku sedih.

“Alpha…?” kataku. Aku menengadah menatap wajahnya. Aku tak tahan lagi, aku menangis.

“Maafkan aku…” ucapnya lirih. Alpha memelukku lebih erat. Ia mengusap rambutku dengan lembut. Tangannya tidak hangat lagi. Sudah membeku seperti es. Tapi dia tetap Alpha, takkan berubah.




* T A M A T *

Tidak ada komentar: