.

.

Sabtu, 01 Januari 2011

[Cerpen] Er ist meine Symphonie

Agustus 2008…


I : guten abend

Fred : d sini masih siang kale, blm mlm. xD

waktu d sana lebih cepat 5 jam drpd d sini :)

 
Damn! Isshh, malu banget deh gue udah salah, ternyata dia bisa bahasa Indonesia juga!


I : hehe.

Kirain masih d jkt :p

Fred : enggak kok, udah balik nih :)

I : oh, salam kenal yah ;)

Fred : yeah :)

Lo tau gw?

I : byk tmen gw yg 1 skul sama lo d skul lo yg d jkt ^^,

Fred : wew, gw cukup famous juga yah.

Kidding. xD



*     *     *



KRIIIIIIING!!!!

BRAKK!

GEDEBUGGGH!!

Damn. Jam beker babi itu berdering di atas meja kamarku hingga bergerak jatuh di atas dahiku. Hey! Aku tak berkata kotor, tapi jam bekerku memang berbentuk babi lucu berwarna ungu, warna favoritku. Ugh, aku baru sadar aku berada di lantai karena tadi jatuh dari tempat tidur. Pantas saja badanku yang kurus ini terasa remuk.

Ku lihat jam. Hah? Masih jam 4 pagi?? Pasti adikku, Chessy, memajukan waktu alarm-ku. Hufth, sudahlah. Aku beranjak membuka notebook-ku. Mendengarkan mp3 lagu-lagu ciptaanku, tentunya dengan volume kecil. Aku teringat isi chat-ku semalam. Oh, dia begitu mempesona! Hehe. Padahal dia biasa saja kok. Malah, teman-temanku yang 1 sekolah dengannya selalu berpendapat buruk tentang Fred. Meskipun Fred hanya bersekolah di situ kurang dari setengah tahun. Teman-teman cewekku, selalu berkata dia tidak baik, genit, gombal, ahh…pokoknya semacam itulah. Kasihan sekali cewek –cewek itu. Mungkin mereka pernah mengalami kejadian tak menyenangkan dengan Fred. Haha! How poor you are, Girls!


*     *     *


Aku membuka profil Facebook-nya. Sebenarnya aku tidak hobby bermain Facebook, terutama melihat-lihat profil orang begini, apalagi di pagi buta seperti ini. Untuk kali ini pengecualian : karena aku naksir Fred. Hey, coba lihat!


Nama : Frederick

Tempat, Tgl lahir : Hamburg, 29 Juni 1991

Jenis Kelamin : Laki-laki

Tertarik Pada : Perempuan

Mencari : Persahabatan

Teman Kencan

Status Hubungan : Berpacaran dengan Viona Marizka


Arrrgghhh. Damn! Damn! Damn!

Hatiku membara, langsung saja aku kirim permintaan pertemanan ke pacar Fred. Ugh, aku sudah lihat fotonya. Cukup manis dan…kaya.


*     *     *


“Kak, kenapa lo? Manyun kayak asshole tuh mulut. Haha!”. Ucapan Chessy mengagetkanku. Aku melirik, lalu kembali ke posisi awal.

“Diem lo. Gue lagi sedih nih! Fred ternyata udah punya cewek..”

“Yah, elah.. Cuma karena itu doang lo manyun?? Janur kuning belom melengkung, Fred masih milik bersama! Masa’ sih Lovytha sang Gitaris jadi kicep cuma gara-gara gebetannya udah punya pacar?”. Chessy berkicau sambil mengguncang bahuku.

“Omongan lo bikin lo mendadak jadi lima tahun lebih tua dari umur lo yang sekarang tau ‘nggak.”, kataku sambil memutar bola mataku ke atas.


*     *     *


Juni 2009…


Akhirnya hari wisuda tiba juga. Bye-bye putih abu-abu, hehe. Gara-gara National Exam yang menyibukkanku, sebulan ini aku tidak berkirim message dengan Fred. Tapi aku dapat info tentang Fred dari Zackary (aku biasa memanggilnya Zack), teman sebangku-ku yang juga tetangga Fred waktu Fred tinggal di Jakarta. Jadi aku tahu Fred sudah hampir setahun pacaran dengan Viona. Dia emang cewek beruntung. Bagaimana ya cara menaklukkan Fred?

“LOVYTHA!!”

Gentakan itu membuatku tersadar dari lamunan. Sanggulku hampir copot karena kaget. Siapa sih yang manggil, tanyaku dalam hati.

“Vy, buruan! Dari tadi lo dipanggil Herr Ronald tau!”, ujar Zack.

“Ngapain dia mangil-manggil gue?”, tanyaku dengan raut merasa terganggu dan bodoh sekaligus.

“LO DAPET BEASISWA KE JERMAN, VYYYY!!! Makanya simak dong acara yang di panggung!”. Teriakan Zack membuatku bengong. “Ya’elah. Dah buruan maju ke panggung!”. Zack menuntunku maju ke panggung. Perlahan ekspresiku berubah menjadi kegirangan.

Alles Gute, nak! Herr Ron akan selalu mendukungmu.”, kata Herr Ronald yang langsung menyalamiku saat aku tiba di atas panggung.

Vielen Dank, Herr Ronald.” Aku tak bisa berhenti tersenyum, apalagi gemuruh tepuk tangan pun tak kunjung usai.

Bitte, Lovytha. Mulai besok kamu sudah harus ikut pelatihan bareng siswa pelatihan yang lain ya.”

“Waduh, pelatihan gimana maksudnya?”

“Jadi, kamu harus memperlancar Deutsch-mu sambil kamu juga bekerja part-time dan hasilnya kamu tabung untuk biaya hidupmu di Jerman.”, jelas Herr Ron.

Was?? Jadi saya tinggal di asrama selama pelatihan , trus saya cuma boleh keluar asrama untuk kerja?”, tanyaku, sambil berharap itu tidak benar.

Ein Hundert buat kamu! Enggak salah kamu dapet beasiswa.” Puji Herr Ron sambil menepuk sebelah bahuku. Tak lama, guru Bahasa Jerman-ku itu mempersilahkan Kepala Sekolah untuk memberikan penghargaan untukku.

“Oh, selamat, Nak! Kamu Lovytha, gitaris band sekolah kita, ‘kan? Ternyata kamu anggun juga pakai kebaya.”, ucap Pak Kepala Sekolah seraya menyalamiku. Aku hanya mengangguk-angguk saja sambil tersenyum. Aku malas berkomentar. Pak Kepala Sekolah masih menepuk-nepuk pundakku sampai akhirnya matanya terperanjat ketika melihat ke bawah. “Lovytha! Kenapa pakai sepatu keds, harusnya ‘kan high heels!”. Belum sempat beliau menjewer telingaku, aku sudah turun panggung sambil nyengir.


*     *     *


“Gimana nih, Jek?” mulutku sudah kerucut, kebingungan mau kerja apa.

“Hmm, gue juga bingung.”, ujar Zack lemas. Dia memang teman baikku saat ini dan untuk selamanya, ku harap. For you info, dia drummer band-ku.

“Ugh, dikit lagi gue bisa ngejer Fred ke Jerman. Hehe!” aku sumringah di depan cermin, sambil membetulkan letak poniku.

Dok-dok-dok!

“Vy? Zack? Ada Mira nih.” Ibuku berkata sambil membuka pintu kamarku, lalu Ibuku kembali ke dapur. Ternyata tetangga sekaligus teman sekolahku itu datang.

“Iiiihh, kalian kok berduaan di kamar sih. Aku cemburu!”, kata Mira sambil pura-pura memukul-mukul Zack yang sedang terlungkup di kasurku.

“Isshh, aku mah males ngapa-ngapain dia, ih! Adanya juga dia yang ngapa-ngapain aku. Haha!”, canda Zack yang sekonyong-konyong bangun dari kasur untuk bersiap menangkis jitakan-ku. Mira, pacar Zack, cuma menahan tawa.

“Cuihhh, Entschuldigung. Males banget gue, wee’!” Zack bersungut-sungut melihat ekspresi pantulanku di cermin yang cuma menjulurkan lidah lalu kembali berkaca.

“Haha, dasar freak kalian berdua! Oh iya, nih gue dapet pamflet audisi Home Band di Café Orange. Audisinya gratis, minggu depan jam tiga sore.” Mira menyudahi joke-ku dan Zack. Aku dan Zack saling berpandangan sambil nyengir. Ya, band-ku akan berusaha memenangkan audisi itu dan aku akan mendapatkan pekerjaan yang aku inginkan : Gitaris.


*     *     *


“Dasar istri tak tahu diri! Minta uang terus! ‘Nggak tahu aku capek kerja seharian??” teriakan itu membuatku terbangun.

“Tapi Chessy harus membayar uang masuk SMA, Pa!”

BRAKK!!

Hening. Aku tahu Ayah sudah pergi lagi. Aku mengendap-endap ke luar kamarku, aku mengintip ke arah ruang tamu. Ibuku menangis. Seperti biasa, aku beranjak masuk ke dalam lemari baju. Ya, itu memang tempat persembunyianku saat aku ingin menangis. Sejak kecil aku selalu bersembunyi di situ karena aku takut menjadi pelampiasan kemarahan orangtuaku yang bertengkar. Ya, Tuhan. Kapan kesedihan ini berakhir? Aku tak tahan jika melihat ibuku seperti ini tapi di sisi lain aku merasa bingung, kenapa selalu aku yang dijadikan pelampiasan kemarahan ibuku? Jika ibu sedang dimarahi ayah seperti ini, aku hanya bisa diam. Dalam hatiku berkata, jika ayah tidak membentak ibu, aku takkan begini.

“Mendingan gue tidur.” bisikku.


*     *     *


“Mah, aku berangkat ngeband dulu ya!”, teriakku dari dapur sambil berlari ke arah teras. Aku mundur lagi ke meja makan, mengambil bekal yang sudah disiapkan Ibuku. Seperti biasa, tiap pagi, ku anggap seperti tak pernah ada masalah. Tapi tulang belakangku seperti agak remuk karena semalam tak tidur dengan nyaman.

“Bekalnya jangan lupa!”, teriak Ibuku yang sedang mencuci di belakang.

“Iya, Mah. Daa!”

“Hati-hati, Nak! Jangan terlalu malam!” Aku tak menyahut, karena itu sudah pasti ku laksanakan. Aku beranjak ke teras, lalu duduk untuk memakai sepatu keds-ku. Zack yang belum mematikan mesin motornya memandangku yang sedang tertunduk mengikat tali sepatu.

“Lovytha, Lovytha. Ckckck…” kata Zack yang menggeleng-geleng sambil tersenyum. Aku menatapnya dengan raut bingung. Dia mengerti bahwa aku bingung, lalu melanjutkan perkataannya, “Lo tuh ya. Sepatu? Keren. Outfit? Cool. Tampang? Not bad. Bawa-bawa gitar listrik lagi, makin cadas dah. Eh pas diperhatiin, megang bekal makanan dari emak! Lucu lo, haha!”

“What’s wrong?”, tanyaku retoris, merasa tak ada yang aneh dengan diriku.

“Ya udah cepet naek!” Zack berkata sambil member isyarat dengan kepalanya supaya aku duduk di boncengannya. Aku mendekat.

“Minggir-minggir! Gue di depan!” Aku merebut kendali motornya.

“Oh, lo mau gue bonceng di depan? Boleh, boleh. Hehe, kidding!”

“Genit, ih! Sini, gue yang bonceng lo.”

“Hah? Lo yang mau bawa motor? Emangnya lo bisa kopling?”

“Lo kira gue Wonderwoman bisa bawa motor? Gue cuma bsa ngendarain motor. Woles aja lah sama gue.” Aku tersenyum bangga sambil memacu motor perlahan. Makin lama aku menaikkan kecepatan.

“Woy, pelan-pelan aja, Vy! Gue takut kalo lo yang bonceng. Lagian kalo ngebut, emangnya gue boleh meluk lo dari belakang? Hehe…”

“Peluk aja. Kalo lo meluk, gue tambah ngebut nih.”

“Kalo lo tambah ngebut, gue tambah kenceng dong meluknya? Hihi…”

“Wah, nantangin nih?? Lo udah pake asuransi, ‘kan, Jek? Tariiiik, Maaaang!” aku bercanda, tapi benar-benar menaikkan kecepatan.

“LOOOOOVYTHAAAAA……!!!!!!!!!!!”


*     *     *


Ku lihat Mira sedang duduk di Café Orange di depan studio tempat band-ku audisi. Setia banget anak itu, nungguin Zack sampai selesai audisi. Ahh, jadi teringat mantanku yang dulu selalu setia menunggu aku yang ngeband berjam-jam.

Aku berjalan masuk ke Café itu sambil tak sadar terus teringat kenangan bersama mantanku itu.

BRUKK!!

Arrghh, polo shirt hijau-ku yang bertuliskan ‘GERMANY’ basah terkena float seseorang yang menabrakku. Cewek putih, agak berisi, dengan outfit branded plus rambut panjang bergelombang dan poni lurus.

“’Nggak punya mata? Atau ‘nggak punya duit buat motong poni lo yang nutupin mata??” Ocehan cewek itu membuatku muak. Setelahku membersihkan sedikit float di bajuku, aku pandangi cewek sombong itu. Hah? Ku rasa aku mengenalnya!

“Diem lagi! ‘Nggak punya mulut juga??” salah satu dari 2 teman dari geng cewek itu ikutan berkicau. Rambut bondol, anting sebelah, hidung ditindik, celana gombrong, kaos ketat. Ternyata masih punya dada, padahal aku kira dia cowok. Tapi untungnya mukanya terlalu cantik untuk jadi cowok. Kalau dia cowok, pasti sudah ku hajar dengan gitar listrikku.

“Duh, udah deh. Aku mau pulang nih.” Seorang cewek manja yang termasuk anggota geng itu merengek, sambil mengemut lollipop. Manis, tapi terlalu kekanakkan.

“Oh, gue tau. Lo tuh Lovytha, yang sering comment status cowok gue, ‘kan??” kata cewek yang dari awal pun aku menebak bahwa dia memang Viona.

“What’s wrong? Verdammt.” tanyaku sambil melengos pergi ke arah Mira yang sekarang sudah berdiri dari posisi duduknya tadi. Tak lama, kebetulan Zack datang ke meja kami.

“What’s up?” Tanya Zack.

“Viona…” kataku lirih. Menunduk, mengisyaratkan bahwa aku tak mau membahasnya dulu.


*     *     *


“Halo?”

“VY!! Band kita ‘I Hate Monday’, lolos jadi Home band di Café Orange!!!”

“Wadduhh, ‘nggak tereak di telepon gini juga kale, Jek!” teriakku sambil menjauhkan gagang telepon dari telingaku. “Eh, tapi beneran kita lolos??” Aku kembali mendengarkan telepon ketika sadar apa yang Zack katakan.

“Kapan sih gue bohong? Hehe.”

“Lo sih ‘nggak pernah bohong pas bulan puasa doang! Haha.”

“Wakakakak. Ya udah, yang penting kita udah resmi jadi Home band di Orange. Kita mulai manggung besok malem jam delapan, okeh?”

“Hah? Cepet banget udah manggung aja! Tapi untung jam delapan, ‘kan gue bisa sholat Isya dulu.”

“Cadas juga lo. Hehe,”

Tut-tut-tut.

“Halo, Vy? Anjrit, ditutup lagi teleponnya!”

*     *     *


Aku terbangun dari mimpiku. Aku lihat jam beker babi unguku. Baru jam 2 malam. Aku teringat mimpiku. Aku melihat profil Facebook-nya Fred. Ku lihat status hubungannya : lajang. Dia putus dengan Viona tepat satu tahun hubungan mereka!

Duh, ku harap mimpiku ini memang nyata. Ah, ‘nggak mungkin! Yang kayak Viona aja diputusin, apalagi cuma seorang Lovytha.

Mending online aja ah, buka Facebook. Siapa tahu mimpiku jadi kenyataan.

Pip!

Wah, ada yang mengirim chat padaku. Jam segini?


Zack : vy, coba view profil info-nya fred

I : wait a minute

Btw tumben ol jam segini

Zack : biasa, kaskuser

I : haha, dasarr

Zack : udah view?

I : wew..

Zack : why?

I : my dreams come true!


*    *    *


August 19th 2009

Subject : Wie geht’s?

I : hai, Fred.
Maaf ya baru bls, gw lama gak ol nih gara2 National exam.
Apa kabar? Btw lo bener putus sama pacar lo?
I’m sorry to hear that :(

Fred : kein Problem :)
Wow, National Exam? It sounds scary. xD
Hmm, yeah. That’s right :-/

I : that’s very annoying exam >_<
Btw, gw dpt beasiswa k negara lo :D 
Wart' auf mich :)

Fred : are you serious? :D Kapan k sini nya ^^,

I : serius lah, gw lagi pelatihan n part-time 10 bulan lagi gw k sana ;)


“Cieeee…!! Email-Email-an aja nih! Hehe.” Zack dan Mira mengagetkanku dari belakang. Wajahku yang terlalu serius sampai menabrak layar notebook-ku karena terdorong mereka.
“Waduh, ‘nggak gini juga kale dorongnya!” kataku sambil pura-pura marah. Hehe, rasakan!
“Hehe, maaf dong. Eh tapi kok ngobrolnya pake English sih? Katanya anak Deutsch. Hehe.” ejek Zack menyindirku.
“Ih apa tuh.. ‘Wart auf mich'? Cieee..!!”. Ternyata Zack melirik ke layar notebook-ku.
“Wah, songong lo, Jek. Suka-suka gue sama dia dong, woooo…! Mir, bantuin gebukiiiiin…..!!” seruku sambil beranjak mengejar Zack yang sudah pasang kuda-kuda untuk kabur.


*     *     *


Sepuluh bulan kemudian…



Minggu, 20 Juni 2010


Dear Diary,

Tiga bulan lagi, saat yang gue tunggu dateng juga. Sedih juga sih karena gue harus ninggalin keluarga n temen-temen gue sementara waktu. Sementara sih sementara, tapi 5 taon geelaa! Jadi, 4 tahun kuliah di sana, n I tahun magang gitu. Di sisi lain gue seneng karena gue bisa ngejer Fred. Gue sayang banget sama dia. Padahal gue blom tau dia juga suka apa enggak sama gue, aneh. Ich verstehe nicht.

Sebenernya feeling gue agak ‘nggak enak. Coz, tadi gue view profilnya Fred. Gue liat ada foto yang di-tag cewek bule (kayaknya sih temen sekolahnya). Pas gue perbesar, itu ternyata foto Fred lagi sama cewek itu di sebuah butik. Kayaknya sih ada temennya yang lain yang fotoin mereka. Yang bikin gue nyesek apa coba?? Cewek yang ada di foto itu lagi megang gaun nikah yang warna putih gitu lho! Gue liat kayaknya bahagia banget mereka berdua. Jangan-jangan Fred mau merit lage??

Ah, udahlah. Gue ke Jerman ‘kan untuk nuntut ilmu.


Lovytha


*     *     *


PDA yang ku beli dari hasil manggungku berbunyi di atas meja. Ringtone-ku yang berbunyi salah satu lagu band Jerman favoritku, berdering keras. Ku lihat PDA-ku : Incoming call >> Zack_IHM.

“Halo, Jek? Ada apa sih, udah malem juga. Besok gue harus berangkat.”

“Iya, tapi ada kabar bagus. IHM dapet job baru!” Nada bicara Zack terdengar ceria dan bersemangat.

“Bagus dong kalo gitu. Udah dapet gitaris pengganti gue, Jek?” kataku hati-hati. Aku berusaha menjaga intonasiku supaya terdengar ceria.

“Oh iya gue lupa bilang sama lo. IHM dapet job di Jerman! Café Orange ‘kan punya banyak cabang, nah kita di suruh promosiin cabang baru Orange yang di Berlin.”

“Maksud lo, IHM bakal ke Jerman bareng gue??”

“Iya..”

“Waaaaaaaaaaaaaaa……….!!!!”

“Etdaaah, sakit banget kuping gue!”


*     *     *


“Ma, ini untuk biaya Mama dan Chessy selama aku di sana. Maaf ya Vy Cuma bisa ninggalin uang segini.”

“Ya ampun, Mama dan Chessy juga ‘nggak mengharapkan ini kok, Vy.”

“Ya udah, Ma, Chess. Vy berangkat ke bandara dulu.”

“Ati-ati mabok.” kata Chessy tersenyum sambil memelukku. Aku bisa mendekap seluruh badannya karena dia termasuk mungil untuk ukuran anak SMP.

“Haha, dasar lo. Tapi jangan kecewa ya kalo lima taun kemudian gue pulang tanpa predikat sebagai ceweknya Fred.”

“Nyantai aja napa.” Kata Chessy sambil melepas pelukannya.

“Tenang ajalah, Vy. Waktu hanya ilusi.” Ibuku berkata sambil tersenyum penuh arti. Waktu hanya ilusi?


*     *     *


Aku beranjak masuk ke pesawat, sengaja ku pilih tempat yang dekat jendela agar aku bisa melihat awan. Aku mulai duduk di kursi empuk itu. Baru saja aku menghela dan menghembuskan napas panjang, aku mendengar suara yang ku kenal, persis seperti suara cewek yang mengomeliku saat di Café Orange. Viona.

“Halo, Pa? Aku mau Papa cepet sewa penginapan yang deket sama rumah Fred!”

Manja banget sih, kataku dalam hati. Rasanya aku mau lempar keluar pesawat tu cewek. Beruntung dia ternyata anak Kepala pelatihanku, kalau ‘nggak…

“Maaf, Mbak. Bisa tolong non-aktifkan telepon genggamnya selama penerbangan? Sinyal dari telepon genggam anda bisa merusak sinyal penerbangan kami.” Seorang pramugari cantik yang sedikit kebule-bulean (atau memang bule? Soalnya cara ngomongnya kaku banget!) tiba-tiba menegurnya. Aku bisa membayangkan betapa malunya dia.

Tak lama seorang cowok berambut agak ikal duduk di kursi di sampingku. Senyumnya ramah banget!, seruku dalam hati.

“Siswa pelatihan juga ya? Gue Gery.” Dia mengulurkan tangannya yang berkulit agak lebih gelap dari kulitku yang putih langsat, lagi-lagi dengan senyum yang tidak dibuat-buat.

“I-iya. Gue Lovytha, panggil aja gue Vy.”, kataku gugup sambil membalas uluran tangannya.

“V?”, tanyanya dengan raut aneh, sambil membuat huruf V dengan jari telunjuk dan jari tengah tangan kanannya.

“Iya, V untuk Victory, hehe.” Aku menjulurkan lidah.

“Lo orangnya lucu dah, pasti lo pelawak ya?”, ucapnya sambil tertawa. Manis.

“Salah. Gue gitaris tau! Ahahaha!”, ucapku terbahak.

“Oh, ya?” Ekspresinya berubah bingung. Hmm, cowok ini benar-benar ekpresif.

“Yap. Gitaris.”, ucapku sambil nyengir.

“Wew, gue Vokalis. Aliran apa lo?”

“Pop-Rock. Metal juga suka sih, terutama untuk didengerin. Lo aliran apa?”

“Pop sama Jazz, kalo ‘nggak Blues. Rock juga suka, tapi jarang bawain lagu Rock.”

Warum?”

“Gue seringnya dapet job di Café romantis gitu, jadi request-nya lagu-lagu so sweet mulu. Hehe."

Ach so! Wah, kayaknya suara lo merdu nih. Boleh denger ‘nggak?”

“Boleh. Ehhem...!" Cowok itu berdehem, mengambil ancang-ancang sebelum bernyanyi."Wo willst du hin ich kann dich kaum noch sehn.. Unsre Eitelkeit stellt sich uns in den Weg.. Wollten wir nicht alles wagen, ham wir uns vielleicht verraten, Ich hab geglaubt wir könnten echt alles ertragen.. Symphonie Und jetzt wird es still um uns.. Denn wir steh'n hier im Regen, haben uns nichts mehr zu geben, und es ist besser wenn du gehst..

“Cadas….” Kata itu keluar begitu saja dari mulutku. Aku benar-benar terpana mendengar suaranya yang berat dan merdu.

“Haha, cadas? Lo kira gue lagi scream barusan??” Dia tertawa terbahak sampai mukanya memerah.

“Hehe, gue ‘nggak nyangka lo nyanyiin lagu favorit gue : Symphonie.”

“Oh, lo suka Silbermond juga?”, ucapnya menyebutkan nama band Jerman favoritku.

“Yep.”


*     *     *


Selasa, 22 Juni 2010


Dear Diary,

Capek banget gue baru nyampe Berlin. Ich wohne in einem Mietzimmer. Pengen tidur tapi males, di sini pagi geelaa! Kalo di Jakarta harusnya udah malem. Bentar lagi gue pengen mandi aer anget trus gue mau refreshing ah keluar penginapan, sekalian cari rumah Fred, hehe. Di sini ada warnet ‘nggak ya? Notebook gue mati total, males banget nge-carge-nya. Gue pengen posting blog gue nih. Isi otak gue udah membuncah. Hmm, gue mandi dulu ah, aer panas di bak udah tumpah-tumpah nih.


Lovytha


Aku menutup buku harianku lalu bergegas mandi. Selama aku mandi, aku kepikiran kata-kata Ibuku sebelum aku berangkat ke bandara, waktu hanya ilusi? Otakku tak kuat memikirkan hal-hal berat kayak gitu, hehe. Bahasanya tinggi banget sih!

Setelah aku mandi, ku cepat-cepat berpakaian. Mantelnya lucu banget deh warna coklat tua bermotif kotak-kotak, matching dengan kaus kaki selutut warna coklat muda yang aku kenakan. Tapi kalo pakai ini di Jakarta sih bisa diketawain! Abisnya lumayan tebel, padahal suhunya lagi cukup hangat (tetap saja bagiku ini dingin). Badanku yang kurus bisa beku kalo ‘nggak pakai mantel!

Saat tiba di luar penginapan, aku kelihatan seperti orang aneh. Orang panas kok pake mantel, mungkin begitu kata bule-bule yang melihat penampilanku. Apalagi ditambah kupluk yang aku pakai. Kalau ini aku pakai bukan karena dingin, tapi karena manis banget aku pakai ini. Hehe. Lagian aku pakai rok mini kotak-kotak kecil kok sebagai padanannya.

Guten Morgen!” Seseorang melambaikan tangan padaku sambil tersenyum.

Morgen!” Aku menyahut. Aku tak menyangka ternyata aku satu tempat penginapan dengan Gery. Gery terdiam memandangku dari bawah ke atas. “Kayak orang aneh yah? Huhu..”, kataku dengan mulut kerucut.

“Manis.”, ucapnya singkat. Lagi-lagi sambil tersenyum. Aku pun tak bisa menahan senyum. Sebenarnya aku yang mau berkata seperti itu karena Gery terlihat sangat cool dengan outfit-nya : celana panjang coklat tua dan mantel yang 1 model denganku. Serasi banget kami kelihatannya. “Mau ke mana, Vy?”

“O-oh, mau jalan-jalan aja liat pemandangan!”, kataku cepat. Kelihatan banget kalau aku sedang salah tingkah.

“Jalan-jalan tanpa tujuan gitu mana asyik.”

“Abisnya gue ‘nggak tau tempat-tempat bagus di sini.”

“Ikut gue aja!” Gery berkata dan sekonyong-konyong dia menarik tanganku.

“Hm, für mich ist egal.”


*     *     *


“Kita ada di mana nih, Ger?

“Lo suka beruang ‘nggak? Mmm, cewek-cewek ‘kan biasanya demen sama yang berbulu gitu deh. Haha.”

“Idih, apa siiiih….?” Aku terbahak. Cowok ini memang benar-benar aneh sekaligus lucu.

“Sekarang kita ada dirkische Museum.”

“Kok museum sih? Katanya ada beruang? Huh, gue kira lo mau beliin gue Teddy bear. Hehe.”

“Jangankan bonekanya, nih gue tunjukkin beruangnya yang beneran, tuh!” Gery memegang kedua pundakku dan memutar badanku ke satu arah. Aku melihat seekor beruang besar berbulu coklat sedang diberi makan oleh penjaga.

“IIIIIIIHHH, LUCU BANGEEEETTTT!!!”

“Hussshh, berisik banget! Mereka pada ‘nggak ngerti omongan lo tau!” Gery sekonyong-konyong menutup mulutku. Bule-bule yang sedang berekreasi di situ menatapku dengan bingung.

“Pura-pura ‘nggak kenal ah…”, kata Gery seraya kabur meninggalkanku ke arah taman. Saat ku kejar, Gery berhenti mendadak sampai-sampai aku menubruk badannya yang lebih tinggi dariku itu.

“Iiiiiiiiisshh, ngeselin banget sih ngerem mendadak!”

“Sorry, sorry. Hehe.” ujar Gery sambil menepuk-nepuk kepalaku. “Liat tuh, ada patung beruang lucu banget.” kata Gery seraya menunjuk ke sebuah patung besar. "Tunggu yah.", kata Gery seraya bergerak mendekati seorang cewek Jerman yang lewat di depan kami. Mau ngajak kenalan mungkin? Ku lihat Gery memberikan sesuatu ke cewek itu. Gery bergegas ke arahku dan menarikku ke dekat patung itu, lalu Gery merangkul ku dengan tangan kanannya. Tangan kirinya membentuk huruf ‘V’ dengan telunjuk dan jari tengahnya.

“Cheese!” seru Gery. Aku refleks tersenyum beberapa detik sebelum blitz menyala. Beberapa saat kemudian ku lihat bibirnya bergerak mengucapkan ‘Danke schön’ ke cewek itu sambil mengambil kamera digitalnya kembali.

“Ih, lucu, Vy!” Gery antusias sekali melihat hasil foto yang tampil di layar kameranya. Senyumnya terlihat penuh kebahagiaan yang tak palsu. Aku seakan seperti sudah lama mengenalnya, padahal aku baru kenal dia satu hari.

KRUCUUUUKK….!

“Wah, laper lo?”, tanya Gery. Aku jawab pertanyaannya dengan senyum kecut. “Ke tempat makan yang itu yuk?” kata Gery sambil menunjuk sebuah restoran.

“Duh, gue takut ‘nggak doyan makanannya, Ger.”

“Kita liat-liat aja dulu sambil tanya-tanya.” Akhirnya kami berjalan ke arah restoran mini itu. Tiba-tiba Gery menghentikan langkahnya dan berkata, “Waduh! Dompet gue jatoh, Vy, pas tadi gue ngambil kamera!” Gery sibuk meraba kantong.

“Duh, ya udah kita cari dulu dompet lo, Ger. Makan mah ‘nggak penting, bisa ditunda. Isi dompet lo apa aja emang?”

“Hmm, dah ‘nggak usah. Cuma dompet kecil kok, orang paspor sama yang penting-penting gue taro penginapan. Hehe.” Bisa-bisanya anak itu masih sempat tertawa. Dari kejauhan aku dan Gery melihat ada seorang pengamen tua dengan gitarnya. Gery beranjak ke arahnya sambil tersenyum penuh rencana.

“Ger, mau ke mana??” tanyaku. Ku perhatikan setiap gerakannya. Tak lama dia menoleh ke arahku dan memberi isyarat dengan tangannya untuk memanggilku. Aku mendekat.

“Gue nyanyi, lo maen gitar.” kata Gery seraya memberikan gitar si pengamen yang telah dipinjamnya itu. Aku kaget sekali.

Silbermond?” tanyaku.

“Yep. Das Beste ya.” Gery request sebuah lagu. Oh, kenapa sih harus lagu favoritku lagi?

“Oke, Ger.” Aku mulai memetik gitar perlahan membawakan lagu slow itu.

…Du bist das Beste was mir je passiert ist, es tut so gut wie du mich liebst! Vergess den Rest der Welt, wenn du bei mir bist! Du bist das Beste was mir je passiert ist, es tut so gut wie du mich liebst! Ich sag’s dir viel zu selten, es ist schön, dass es dich gibt….!” Ku lihat Gery menyanyikan lagu itu dengan penuh penghayatan, seakan dia benar-benar merasakannya.

Aku dan Gery melantunkan beberapa tembang Silbermond favorit kami. Tak ku sangka semakin lama semakin banyak pengunjung taman yang menonton pertunjukan kami. Suara Gery memang merdu, tak heran lagi banyak yang memberikan uang pada kami.

“Wah, lumayan nih, Vy. Bisa kita bagi dua sama bapak yang punya gitar ini, trus sisanya buat kita makan sama jalan-jalan lagi. Hehe.” ujar Gery sambil menghitung uang yang kami dapatkan. Bapak tua itu tersenyum bahagia sekali ketika Gery mengembalikan gitarnya seraya memberikan sebagian ‘uangnya’ untuk bapak tua itu.

“Sekarang kita ke mana?” tanyaku.

“Ke resto yang tadi laaah..” kata Gery sambil tersenyum dan juga menaik-turunkan alisnya dengan lucu.

Ternyata restoran itu adalah restoran Asia, jadi banyak makanan dari Indonesia juga.

“Wah, gue mau soto ayam. Lo apaan, Ger?” tanyaku.

“Ih, ngikutin aja lo. Gue juga demen soto tau!” kata Gery sambil mencubit pipiku dengan gemas.

Tiba-tiba seorang cowok yang sangat ku kenal masuk ke resto tempat aku dan Gery makan. Tapi dia datang bersama seorang cewek yang juga ku kenal sekaligus sangat aku hindari.

“Eh, lo lagi.” Viona berkata sambil memutar bola matanya ke atas. Kalau soto yang ku makan bukan dari hasil aku dan Gery ngamen, mungkin sudah ku tumpahkan ke mukanya.

“Hai, Fred!” Aku berusaha tak memperdulikan nenek sihir itu.

“Vy?” tanya Fred memastikan. Tak lama sebentuk senyum yang selama ini kunantikan pun terukir di wajahnya.

“Yeah, ‘V’ untuk Victory.” kataku sambil tersenyum dan membentuk inisial ‘V’ dengan jariku.

“Fred, kok jadi ngurusin dia sih? Aku ‘kan minta temenin makan, bukan ngusir kecoa kayak dia.” Viona mengejekku sambil melihatku dengan tatapan mengesalkan. Dia bermanja-manja pada Fred, tapi ku lihat Fred tak nyaman dengan itu.

“Vy, kata Zack lo satu band sama dia ya? Kok ‘nggak pernah bilang sama gue sih.” tanya Fred tanpa mempedulikan cewek yang menarik-narik lengannya sejak tadi.

“Ehehe, iya. Gue malu aja, orang lo juga ‘nggak nanya sih. Hehe. Zack udah nyampe sini ya?”

“Baru nyampe tadi pagi dia. Palingan lagi tidur, haha!” Baru kali ini aku mendengar Fred tertawa secara langsung. “Main dong ke rumah gue. Deket penginapan lo kok.”

“Wah, jadi boleh nih? Kalo gitu besok jangan ke mana-mana ya.”

“Okay!” Fred mengedipkan sebelah matanya. ”Save nomor ponselku ya.” katanya sambil memberikan sebuah kartu nama.

“Oh iya, Fred, kenalin ini temen pelatihan gue, Gery.” Aku menyodorkan Gery ke depan Fred.

“Gery. Just Gery.” kata Gery dengan senyum ramahnya.

“Fred. Frederick” Aku mulai merasa ada aura permusuhan yang Fred tunjukkan.

“Fred, gue sebenernya masih mau ngobrol sama lo. Tapi gue harus pergi dulu nih, and gue juga ‘nggak enak sama cewek lo.”

Was?? Dia emang cewek gue tapi dulu. Ich bin single.” Nada bicara Fred kayaknya terlalu lebay deh, seakan-akan aku ini siapanya saja.

“Oh, hehe. Ya udah ya, bye!”


*     *     *


Aku dan Gery berjalan pulang ke penginapan kami.

“Tadi siapa, Vy?” Nada pertanyaan Gery terdengar seperti menyelidik.

“Emm, itu gebetan gue. Tapi jangan bilang siapa-siapa!” kataku cepat, sambil meletakkan telunjukku di depan bibirku yang mengerucut.

“Kocak lo.”

“Tadi gue kayak orang bego banget ya..”

“Biasa aja.”

“Lo tau tujuan gue ke sini?”

“’Nggak.”

“Hmmh, awalnya gue pengen banget bisa ke Jerman ‘kan gara-gara dia, gue pengen banget ngungkapin perasaan gue ke dia.”

“Cuma ngungkapin? ‘Nggak berusaha untuk ngedapetin? Payah.”

“Lah, so what??”

“Lo jauh-jauh ke sini cuma buat jadi pecundang?” Intonasi Gery mulai terdengar tidak enak.

“Gue ‘nggak ngerti.”

“Ada hal yang seharusnya kita tau, tapi kita ‘nggak tau. Ada hal yang seharusnya kita ‘nggak tau, tapi kita malah tau. ‘Nggak semua hal yang kita inginkan akan terjadi, dan apapun yang akan terjadi mungkin itu yang terbaik buat kita jalani. Sebuah proses pendewasaan diri tentang pembelajaran arti kehidupan akan kita dapatkan kalo kita mencoba akan sesuatu. Terkadang kita berkhayal, bahkan bermimpi kapan khayalan yang kita inginkan akan jadi kenyataan. Selama kita masih bisa bernapas, ‘nggak ada salahnya kita mencoba untuk merealisasikan apa yang kita inginkan.”

“…..” Aku terdiam, menatap Gery. Bukan tak mengerti, tapi terpana mendengar kata-kata Gery yang memang benar.

“Semua orang bisa datang dan pergi dalam hidup kita tanpa kita tau kapan waktunya. Apapun yang sudah atau akan terjadi, jangan biarkan kita menyesal jika kita menoleh ke belakang. Kita sibuk mencemaskan apa yang akan terjadi nanti, padahal kita belum mencoba. Lihat sekeliling kita dengan penuh kesadaran. Jalani apa yang kita mau jalani, karena jalan hidup itu kita yang milih.”

“Ger, makasih ya. Kata-kata lo teramat berarti buat gue.” Aku menatap Gery lekat-lekat. Aku tak pernah mendengar nasehat sebaik ini.


*     *     *



Aku sedang mengunci pintu saat akan pergi keluar penginapan. Ada secarik kertas di bawah keset yang ku injak.


Temuin gue di taman yang kemarin kita nyanyi das Beste di sana, okay.



Gery, gumamku dalam hati sambil tersenyum. Aku bergegas ke taman itu. Aku tengok kanan dan kiri. Niemand.

“DOOORR!!” Seseorang mengagetkanku dari belakang.

“Gery!” seruku.

“Haha, lama banget lo.”

“Dari kapan lo di sini?”

“Yang jelas setelah gue naro kertas tadi di depan kamar lo.”

“Ahahaha, itu sih gue juga tau!” Aku terbahak. “Mau ngajak ke mana lo?”

“Dah lo ‘nggak usah banyak tanya.” Gery spontan menutup mataku dengan selembar kain penutup mata yang dia keluarkan dari kantong mantelnya. Tak lama, dia menuntunku berjalan ke sebuah tempat.

“Udah sampe.” ujar Gery seraya melepas penutup mataku.

“Eh, di mana nih?”, tanyaku.

“Di mana aja boleh..” Gery menjawab asal sambil nyengir. Aku menjulurkan lidah sebagai ungkapan kesal. “Ini namanya Taman Beton.”

“Serem amat namanya, Ger?”

“Lo perhatiin deh, areal di sini keliatannya makin nurun, ‘kan? Itu karena beton-betonnya makin ke sana makin tinggi.” Gery menjelaskan sambil menunjuk ke satu arah.

“Lho, iya ya.”, kataku memperhatikan.

“Taman ini dibangun untuk mengenang enam juta orang Yahudi yang dibunuh Nazi.” Gery menjelaskan. Gery mengajakku berjalan ke seluruh penjuru taman.

“Ger, kok jadi serem ya tempatnya…?” kataku sambil melihat ke sekeliling.

“Bukan serem, tapi mencekam, Vy. Semakin ke dalem, suasana makin hening. Struktur beton persegi panjangnya yang ‘nggak sama tinggi bikin kita ‘nggak bisa nebak apa yang akan kita temuin di depan, atau siapa yang akan menyentuh bahu kita dari belakang.” Mendengar penjelasan Gery, tak sadar aku menggenggam tangannya erat saat kami sampai di bagian taman yang betonnya mulai menjulang.

“Perasaannya jadi ‘nggak nyaman banget ya, Ger.”

“Nah, itulah yang konon dirasakan masyarakat Yahudi di zaman Nazi. Malah katanya sih, mereka merasakan perasaan kayak gini sepuluh kali lipat dari apa yang kita rasain.”

“Ya ampun, sengsara banget ya, Ger, hidup dalam ketakutan gitu.”

“Pelajaran yang bisa kita petik dari hal ini, berarti kita harus membayangkan ada dalam situasi tertentu dulu kalo kita mau tau tentang perasaan yang orang lain alamin. Jadi kita ‘nggak meremehkan perasaan orang gitu aja.”

Das stimmt. Emm, lo orangnya dewasa banget ya ternyata.” Aku menatap Gery sambil tersenyum. Gery membalas tatapanku dengan tatapan yang lebih lekat. Aku terdiam. Aku takut tatapan ini adalah awal dari sesuatu.

Gery mendekat, dan aku masih menggengamnya seperti tadi. Entah mengapa aku merasakan darahku berdesir hangat. Keheningan taman ini pun mendukung moment ini. Gery mendekatkan wajahnya padaku. Hatiku mulai tak karuan! Ku pejamkan mataku perlahan.

“Yahh, kok merem?” Tiba-tiba Gery berkata.

“Lho?” Wajahku terlihat sangat bingung.

“Softlens lo warna apa sih tu? Gue pengen liat, eh lo malah merem.” ujar Gery, santai.

“Gue kira lo mau…” kataku sambil menggaruk kepalaku yang sama sekali tidak gatal.

“Mau apa?” tantangnya sambil nyengir. Duh, kok gue jadi konyol sendiri gini sih, kataku dalam hati. “Lucu lo, Vy.” Gery mengacak poniku.

“Huh..”

“Vy, lo mau ke rumah Fred jam berapa?” tanya Gery mengalihkan pembicaraan.

“Yang jelas sore ini tapi ‘nggak tau jam berapa. Kenapa?”

“Sekarang aja, gue anter.”

“Okay.”

Tak terasa aku dan Gery sampai di depan rumah Fred. Rumah imut dengan halaman rumah yang bisa dibilang besar untuk ukuran rumahnya.

“Ya udah, Vy, gue nganter sampe sini aja ya. ‘Nggak enak kalo Fred ngeliat, ‘ntar disangka ada apa-apa lagi.” kata Gery sambil tersenyum kecut.

“Iya, makasih ya, Ger.” kataku.

“Mau di jemput ‘nggak?”

“’Nggak usah, Ger, kapan-kapan aja. Hehe.” kataku sambil nyengir. Gery membalas dengan senyuman dan lambaian tangan. Tak lama dia berbalik badan dan berjalan menjauhiku. Ku tatap punggungnya hingga menghilang dari pandanganku. Aku menghela napas panjang lalu berbalik ke arah pintu rumah Fred. Aku mengetuk pintu tiga kali.

“Fred? Fred? Ada di rumah ‘nggak?” Aku memanggil ke dalam rumah Fred. Tak ada jawaban. Ku ulangi itu selama sepuluh menit sekali.

Satu jam berlalu. Udara mulai dingin. Angin sore yang lembab menyapu tengkukku. Syal yang sejak tadi ku simpan di dalam kantong mantel akhirnya terpaksa aku pakai. Aku yang sedang duduk, beranjak bangun dari tangga turun di depan pintu rumah Fred.

Aku berjalan menunduk dengan kedua tangan ku masukkan ke masing-masing kantong mantelku. Saat aku sampai tikungan tak jauh dari rumah Fred, aku berpapasan dengan sebuah mobil Jeep biru kehitaman yang berisi dua orang yang sudah tak asing lagi. Fred dan Viona. Ku lihat Viona yang memegang kemudi, dan Fred sedang menatap ke depan dengan pandangan kosong.

Aku berhenti sejenak saat mobil itu lewat di sebelahku. Mobil itu berhenti. Kaca depan terbuka perlahan.

“Bitch!” Sudah bisa ditebak siapa yang berkata seperti itu padaku.

“Vy? Dari mana??” kata Fred yang telah sadar dari lamunannya. Fred terlihat begitu kaget karena bertemu aku di tikungan tersebut.

Jujur, aku agak kecewa dengan pemandangan itu. Aku menjawab pertanyaan Fred hanya dengan senyum kecut, lalu aku melengos pergi.



*     *     *


Sesampainya di penginapan, aku masih tak bersuara sepatah kata pun. Sejak kejadian tadi aku tak mood melakukan apa pun.

Aku melepas sepatu boots kulitku, lalu menggantungkan mantel di balik pintu kamar. Aku duduk di sisi tempat tidurku. Ku toleh lemari kamar, sewaktu di Jakarta ku selalu bersembunyi dan menangis di dalamnya. Aku tak pernah bercerita tentang kesedihanku di depan teman-temanku, bahkan Zack sekalipun karena aku tak ingin berbagi kesusahan dengan mereka. Tapi kali ini aku sudah tak tahan lagi ingin menumpahkan air mataku. Akhirnya aku masuk ke lemari kamar penginapanku. Aku jauh-jauh ke sini hanya untuk menangis di dalam lemari lagi??

Empat puluh lima menit aku menangis di dalam lemari itu. Entah mengapa sesak di dadaku belum juga sirna.

DOK! DOK! DOK!

Pintu kamarku diketuk dari luar.

“Vy?” Aku tahu itu Gery, tapi aku sengaja tetap bersembunyi di situ karena kamarku memang tak ku kunci. Aku dengar langkah kaki Gery mendekat masuk ke kamar. Apa jadinya kalau dia menemukanku ada di dalam sini, menangis pula!

“Vy???!” Suara Gery mulai terdengar keras.

“Gery…?” kataku sambil terisak di dalam lemari.

“HEY!! WER IST DAS??!” teriak Gery, panik. Aku malah makin terisak. Gery mendekati lemari lalu berusaha membuka lemari dengan paksa.

BRAKK!

“Lovytha? Warum bist du hier….?” Gery bertanya sambil menarikku perlahan ke luar dari lemari. Gery menuntunku duduk di sisi tempat tidur. “Ya ampun, lo nangis…?” kata Gery. Dia menghampiriku lalu menghapus air mataku dengan kausnya.

“Ger, bener kata lo. Gue jauh-jauh ke sini cuma untuk jadi pecundang…!” Aku terisak makin keras sambil mengucek mataku dengan sebelah tangan, persis anak umur 5 tahun.

“Sebenernya apa yang terjadi sih, Vy??” Gery mengguncang bahuku.

“Gue rasa gue salah besar, Ger, kalo punya tujuan ke sini demi dia.” Aku terisak sambil menutup wajahku dengan kedua telapak tanganku. Sesaat kemudian Gery menghela dan menghembusakan nafas panjang, menandakan bahwa dia tahu siapa yang sedang aku bicarakan. Lalu dia menenggelamkanku dalam pelukannya.

“Gue ‘kan udah pernah bilang : Semua orang bisa datang dan pergi dalam hidup kita tanpa kita tau kapan waktunya. Apapun yang sudah atau akan terjadi, jangan biarkan kita menyesal jika kita menoleh ke belakang. Kita sibuk mencemaskan apa yang akan terjadi nanti, padahal kita belum mencoba. Lihat sekeliling kita dengan penuh kesadaran. Jalani apa yang kita mau jalani, karena jalan hidup itu kita yang milih.”

“Ger, ngomong itu gampang!!” Aku terisak keras di pelukannya. Aku yakin suaraku terdengar tak begitu jelas.

“Vy, lo tau kenapa gue bisa ngomong begitu? Itu karena gue pernah mengalami sesuatu hal yang bikin gue bisa mengambil pelajaran dan kesimpulan dari itu semua.” ucap Gery bijaksana. Aku menoleh, menggeser posisi kepalaku ke arah samping sehingga aku bisa mendengar detak jantung Gery. Tanpa ku sadari isakanku perlahan-lahan berhenti. “Vy, lo belom mencoba mengungkapkan isi hati lo ke Fred, dan lo juga belom tau pasti isi hati Fred terhadap lo. Berarti masih ada kemungkinan Fred punya perasaan yang sama terhadap lo.” lanjut Gery sambil mengusap-usap rambutku.

“Tapi gue takut dia ilfeel atau ‘nggak mau temenan sama gue lagi, Ger, kalo gue jujur tentang perasaan gue ke dia…” Aku melepas pelukannya sambil menghapus air mataku.

“Tuh, ‘kan. Mulai lagi. Lo tuh selalu sibuk mikirin yang belum tentu bakal terjadi. Nih, ya. Kesempatan ‘nggak bakal dateng dua kali. Mending cepetan ungkapin tuh perasaan daripada lo simpen-simpen, ‘tar keburu busuk. Haha!” Gery tertawa sambil menggaruk-garuk kepalanya sehingga rambutnya yang agak gondrong jadi berantakan. Aku suka melihat style-nya.

“Ah, kampred lo! Huhu..”

“Lah, bener ‘kan? Nanti perasaan lo keburu busuk alias lo keburu patah hati gara-gara Fred diambil orang.” Kata-kata Gery membuatku berpikir dua kali untuk terus menyimpan perasaan ini ke Fred.

Pip-pip-pip!

Ponselku berbunyi tanda SMS masuk. Ku lihat layar ponselku : Fred (^_^).


Maaf y td gw ga ngajak lo bareng, cz gw ga enak td tu mobil Viona. Mlm ini bs gw jemput utk candle light dinner di Café Orange 1 jam lg? ich will dich treffen. rep, please.


Tanpa pikir panjang lagi aku langsung membalas pesannya.


Okay, gw bs kok. Gw siap2 dlu y.


“Dah sana mandi dulu.” kata Gery. Tenyata dia melirik ke layar ponselku.

“Gue harus jujur ke dia, Ger?” tanyaku hati-hati.

“Yap.” jawab Gery singkat.

“Tapi jangan pulang dulu lo.”

“Why??” tanyanya bingung.

“Stay here, Okay.” Aku mengedipkan sebelah mata pada Gery dan bergegas masuk ke kamar mandi. Bunyi keran yang berisik menghalangi suaraku yang mandi sambil menyanyikan lagu das Beste dengan riang. Keberisikan itu pun yang membuatku tak mendengar Gery menggumam.

“Maaf, Vy. Gue yang ‘nggak bisa jujur ke lo. Mungkin ini konyol : gue mulai jatuh cinta sama lo sejak pertama gue kenal lo. Ich liebe dich.”


*     *     *


Setengah jam kemudian aku beranjak keluar dari kamar mandi.

“GERY?” teriakku dari dalam kamar mandi.

“Hmm?” jawab Gery asal.

“Merem dulu, gue mau ambil daleman!”

“Iyaa.” kata Gery sambil memejamkan mata dan membelakangiku. Aku cepat-cepat membuka lemari dan mengambil beberapa ‘benda’ dan salah satu dress warna baby pink pilihanku lalu memakainya di kamar mandi.

“Udah, Ger. Boleh melek.” kataku. Gery sudah membuka mata saat dia berbalik ke arah lemari.

“Wew. Benda wasiat lo ada yang jatoh pas lo tadi buka lemari nih kayaknya.” Gery menunduk mengambil benda tersebut. Cowok manis itu mengangkat ‘benda’ bertali itu ke depan wajahnya dengan kedua tangan. “Wah, ternyata bentuknya gini ya.” ujarnya polos sambil memperhatikan.

“Aaaaaaaaaaaaaaa…!!!” Aku berteriak seraya merebutnya. “Ih, ‘nggak sopan!”

“Lah, lo yang jatohin juga.” kata Gery dengan bibir mengerucut. Baru kali ini dia berekspresi seperti itu.

Aku langsung menyimpan ‘benda’ itu lagi ke dalam lemari. Laci lemariku memang terletak di bawah sehingga aku harus berjongkok untuk menyimpannya. Ternyata sedari tadi, diam-diam Gery memperhatikanku.

Hübsch.” ujar Gery. Aku menoleh sambil mengibas rambut lurusku yang berwarna coklat gelap.

“Kenapa tadi, gue ‘nggak denger?” tanyaku polos.

“Lo cantik, Vy.” Ucapan Gery terdengar jujur.

“Oh, ya?” Aku terdiam dan menatap Gery dengan pandangan menunggu jawaban.

“Yap. Menurut gue warna dress lo, pas banget sama kulit lo yang putih langsat.”

“Hmm, mendingan rambut gue disanggul ke atas apa digerai aja?”

“Digerai gitu aja, Vy, soalnya dress lo selutut, yang terbuka trus talinya tipis. Mendingan lo tutupin sama rambut lo yang lumayan panjang, biar ‘nggak terlalu sexy gitu. Mmm, tunggu dulu…” Gery serius sekali memberikan pendapatnya. “…Nah ini baru sempurna.” ujar Gery setelah selesai memakaikan jepit rambut pink-ku yang baru saja dia ambil dari meja di sebelahnya.

“Makasih ya, Ger.” Aku tersenyum manis. Gery membalasnya dengan senyuman yang lebih manis lagi.

“Vy, gue punya sesuatu buat lo. Gue pengen lo nyimpen ini selamanya.” kata Gery. Aku memasang tampang menunggu. Gery merogoh kantong celana pendeknya lalu memberikan selembar foto padaku.

“Lho, ini foto yang waktu itu ‘kan?” kataku girang, sambil memperhatikan fotoku dan Gery bersama patung beruang besar itu. Entah kenapa aku senang sekali melihat Gery yang tersenyum riang sambil membentuk huruf ‘V’ dengan telunjuk dan jari tengahnya, seakan-akan membentuk inisial nickname-ku.

“Iya. Jaga baik-baik ya.”

Pip-pip-pip!

SMS dari Fred.


Vy, udah siap? Gw di dpn penginapan lo.


Aku dan Gery beranjak keluar kamar penginapanku. Setelah aku memakai high heels (yang tumben aku pakai memang khusus untuk hari ini) dan mengunci pintu, aku berpamitan pada Gery.

“Do’ain gue ya, Ger.” kataku dengan wajah memelas.

“Do’a gue selalu menyertai lo, Vy.” kata Gery sambil tersenyum.

“Ya udah gue berangkat dulu ya, Ger. Fred udah nunggu. Auf Wiedersehen.” kataku. Gery menatapku penuh makna. Tak ku sangka dia mencium keningku.

Aku terdiam sejenak, lalu Gery mulai melangkah menjauhiku sambil melambaikan tangan. Aku membalas lambaiannya sambil berbalik. Semoga pilihanku tepat.


*     *     *


“Lo keliatan tambah cantik malam ini, Vy.” ucap Fred sambil menyetir mobil.

Danke sehr, Fred.” kataku sambil tersenyum. Dari intonasi jawabanku yang singkat pun aku terdengar bahagia.

Tak sengaja aku melihat sepucuk undangan di atas tape mobil Fred.

“Siapa yang nikah, Fred?” tanyaku iseng, tak ada bahan pembicaraan.

“Oh, itu? Gue.” jawabnya datar.

“Wah, lo mau nikah ya? Kok gue ‘nggak dikasih tau sih. Gratz ya!” ucapku terdengar agak maksa.

“Hmm, iya.” Fred menoleh padaku sambil tersenyum. Entah mengapa senyuman yang selama ini hadir dalam mimpiku itu kini seakan mimpi buruk bagiku. “Tapi itu baru contoh undangan kok, bukan undangan yang nanti gue bagiin.”

“Oh, tapi tetep aja sombong nih, ‘nggak ngundang-ngundang gue.” kataku, masih bisa menahan gejolak hatiku. Aku tertawa terpaksa.

“Buat apa gue ngundang lo?” Pertanyaan Fred terdengar agak menyakitkan. Tapi ku coba menahan diri agar terlihat tak lepas kendali. Aku melihat sampul undangan pernikahan Fred dari kejauhan : V&F. Viona! Aku merasa bagaikan disambar petir. Jantungku perih seakan dihujam sembilu. Penampilan Fred yang sangat cool dengan setelan jas pun jadi tak berarti bagiku.

Beberapa saat kemudian kami tiba di Café Orange. Langkahku agak sempoyongan saat turun dari mobil Fred. Kami masuk ke Café itu. Aku tak sadar bahwa aku dan Fred bertempat di meja yang sepertinya spesial didekorasi untuk kami berdua. Tak lama kemudian Home band-nya dipersilahkan tampil. Kebetulan IHM belum mendapat job di Orange karena baru satu minggu tiba di Berlin.

Saat Home band-nya mulai naik ke panggung dan bersiap melantunkan sebuah lagu, aku sudah tak memperhatikannya lagi karena kepalaku sudah dipengaruhi gemuruh yang mungkin sebentar lagi membuncah. Aku mulai beranjak melihat ke arah panggung saat aku mendengar dentingan piano dengan melodi yang sangat ku kenal. Das Beste, lagu favoritku! Aku melihat ada seorang cowok dengan setelan jas putih yang memainkan piano, wajahnya terhalang rambut gondrongnya yang khas. Saat dia mulai melantunkan lyric lagu tersebut, aku sadar aku sangat mengenal suara orang yang perlahan melantunkan syairnya. GERY! Dia melihat ke arahku sambil tersenyum penuh makna.

Fred menggenggam tanganku lembut. Dia tersenyum.

“Ngapain juga gue ngundang lo? Emang calon pengantin juga dikasih undangan?” Fred berkata retoris. Aku mengerti maksudnya, tapi aku takut salah! Aku hanya bisa terdiam bingung sejenak.

Ich verstehe dich nicht…” kataku lirih, mataku mulai berkaca-kaca. Aku melepas genggaman Fred dan beranjak bangun dari duduk. “Lo bakal nikah sama Viona, ‘kan??” seruku. Aku langsung berlari keluar Café.

“Vy!” Fred mengejarku. Dia sempat menarik tanganku. Aku menoleh sambil menangis. “Lo kok ‘nggak ngerti-ngerti sih? Yang gue maksud ‘V’ itu lo : Vy!” seru Fred seraya mengacungkan telunjuk dan jari tengahnya ke hadapanku.

“B-bukan Viona? Atau cewek bule yang ada di foto di Facebook lo itu??” tanyaku memastikan. Fred menggeleng sambil tersenyum. Dia membentangkan kedua tangannya dan mengisyaratkan aku untuk mendekat padanya.

Willst du mich heiraten?” Aku mendengar suara Fred lebih keras karena kini aku ada di dalam pelukannya, bahkan aku bisa mendengar detak jantungnya. Aku bisa merasakan pelukan Fred semakin erat.

Ich will nicht nur, aber ich werde. Du bist meine Symphonie.”


*    *    *


Lima tahun kemudian…


“Halo, Jek? Tolong lo cepetan ke rumah gue, bantuin Chessy sama Gery nyari butik buat gaun Chessy and setelan jas Gery. Trus nanti tolong sewa gedungnya sekalian.”

“Lah, kerjaan lo ngapain, Vy?”

“Gue mau calling-calling anak IHM yang laen buat ngisi acaranya nanti lah.”

“Anjrot, enak banget lo ‘nggak rempong kayak gue.”

“Lah, gue juga mesti cepet-cepet takut IHM keburu ada job lagi, Jek. Lagian gue ‘kan repot sambil ngurusin Fred junior nih. Udah tau masih kecil begini.”

“Emang umur berapa sih si Alfredo? Perasaan si Mira ‘nggak gitu-gitu amat.”

“Empat taon, Jek. Anak gue udah bisa jalan, jadi petakilan.”

“Oh iya, ‘kan duluan anak lo tiga tahun lahirnya baru anak gue yak. Hehe.”

“Yaiyalah, ‘kan duluan gue sama Fred merit daripada lo sama Mira. Huuuu…”

“Eh, anak gue ‘kan cewek, nanti pas gedenya kita jodohin yuk? Hihi.”

“Woy, kok jadi ngomongin beginian.”

“Oh iya, ehehe. Eh, alat-alat band udah disiapin?”

“Ude, tenang aja udah diurusin sama Fred. Udah gue pesenin yang bagus semua alatnya, terutama drum. Plus double pedal. Itu ‘kan mau lo?”

“Hehe, tuh tau.”

“Ya udah, mending buruan ke rumah gue sekalian ajak anak-bini lo ye. Ke rumah nyokap-bokap gue maksudnya, coz Chessy sama Gery ada di sana. Nyokap-bokap gue mau ke sini.”

“Iya, bawel. Hehe.”

Pip!

Aku menutup telepon Zack dan segera menghampiri Fred yang sedang bercanda-canda di sofa ruang tamu dengan anakku, Fred junior. Ternyata benar kata ibuku, Waktu hanya ilusi. Apa yang terjadi di masa lalu seakan baru sekerjapan mata saja. Cepat sekali lima tahun berlalu. Aku yang sudah berpredikat S-1 sekarang sedang mengurus rencana resepsi pernikahan Chessy dengan orang yang tak pernah ku sangka-sangka, Gery. Padahal aku seperti baru saja berjalan-jalan ke Markische Museum dan berfoto dengan patung beruang itu bersama Gery, cowok yang aku kenal di pesawat saat aku akan berangkat ke Berlin, dan tahu-tahu dia akan menikah dengan adikku! Ya, waktu memang hanya ilusi. Terkadang aku berpikir waktu berjalan lama sekali, tapi setelah bertahun-tahun dan ketika aku menoleh ke masa lalu, aku merasakan bahwa waktu cepat sekali berputar. Gery benar, apapun yang sudah atau akan terjadi, jangan biarkan kita menyesal jika kita menoleh ke belakang. Aku takkan pernah menyesal

“Mama!” Tiba-tiba Fred Jr. memanggilku dalam gendongan ayahnya. Fred tersenyum padaku. Aku terharu melihat pemandangan ini. Fred dengan senyuman yang dulu hanya ada dalam mimpiku, sekarang telah menjadi milikku. Er ist ja meine Symphonie. Dan kini, ditambah satu senyuman kecil yang melengkapi hidupku.

“Kamu ‘nggak pernah berubah ya, Sayang.” ujar Fred lembut sambil membelai rambut panjangku yang kecoklatan. Fred mencium pipiku.

“Aku mau sun Mama juga…!” Anak laki-laki semata wayangku itu langsung menghambur ke gendonganku.

DOK! DOK! DOK!

“Tolong buka pintu dulu, Pa.” kataku pada Fred. Fred bergegas membukakan pintu.

“Oh, Mamah. Masuk, Mah.” Aku dengar Fred berkata. Pasti itu ibuku, karena Fred menyebut ibunya Mutti, bukan Mamah.

Ibuku langsung memeluk Fred Jr. erat. Aku dan Fred langsung menyalaminya.

“Fredo, kamu mirip banget Papa-mu sih? Idungnya mancung lagi, Jerman banget ya, ‘nggak kayak Mama-mu, pesek. Nah, rambutnya baru mirip Mama-mu, kecoklatan. Papa-mu ‘kan item rambutnya. Tapi rambutmu lurus sama kayak Mama dan Papamu.” Ibuku berkata saat menggendong-gendong Fred Jr. dengan bahagia. Aku dan Fred saling berpandangan sambil tersenyum.

“Papah mana, Mah?” tanyaku.

“Tuh.” jawab ibuku sambil menunjuk ke satu arah. Ayahku baru sampai. Aku langsung menyambutnya dengan pelukan. Fred menghampiri untuk menyalaminya.

Sudah cukup lama aku tak bertemu dengannya sejak ia datang ke pernikahanku di Jerman lima tahun yang lalu, bahkan saat aku, Fred, dan Fred Jr. pindah ke Jakarta setahun yang lalu pun aku belum bertemu dengannya lagi. Rambutnya yang sudah sedikit memutih tak menghalangi pancaran penyesalan yang terlihat dari raut wajahnya. Sudah lama aku tak merasakan kasih sayangnya. Tapi kini semuanya terganti dengan kebahagiaan yang teramat lengkap. Bagiku, selalu ada kesempatan kedua jika seseorang mau merubah diri.



*    *    *    D a s    E n d e    *     *    *